KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN AK-KINDI
DAN AL-GOZALI
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata
kuliah : Sejarah Pemikiran Intelektual dan Peradaban Islam
Oleh :
BADRUZZAMAN
NIM :
14126310022
Semester :
1 (Satu)
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERISYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah hal yang terpenting dalam
kehidupan ini, karena tanpa pendidikan seseorang tidak akan mampu mengetahui
dunia luar. Namun akhir-akhir ini pendidikan kurang diperhatikan tujuan dari
pendidikan tersebut. Pendidikan belakangan ini kurang mengarah kepada
pembentukan insan kamil, padahal tujuan dari pendidikan tersebut tidak lain
adalah untuk membentuk insan kamil atau sempurna. Sehingga pendidikan saat ini
bukanlah membentuk manusia utuh atau sempurna yang layak untuk menjadi khalifah
dibumi melainkan manusia yang individualis, materialis dan pragmatis. Hal ini sangatlah
berakibat fatal karena yang kuat menindas yang lemah, yang berenang tetaplah
berwenang dan yang kuat menindas yang lemah, tanpa ingat dosa.
Berpijak dari realitas yang ada, pembahasan ini
akan mencoba terlebih dahulu menganalisis konsep-konsep yang dikembangkan oleh
Dua tokoh Pendidikan Islam kemudian merekonstruksi dan menemukan mazhab-mazhab
yang dianut oleh sang tokoh dan implementasinya dalam pemikiran pendidikan
islam. Dua tokoh pendidikan islam yang bisa dianalisis pemikirannya adalah
Al-Kindi dan Al-Ghazali.
Sesungguhnya tidak mudah untuk menggeneralisir
pemikiran pendidikan islam ke dalam sebuah atau beberapa mazhab karena memang
umumnya pemikir (yang dimasukkan sebagai tokoh) pendidikan islam yang nota bene
filosof itu tidak secara khusus membahas mengenai pendidikan islam, tetapi
lebih sebagai pemikiran filosofis mengenai komponen-komponen yang kita kenal
sekarang sebagai komponen pendidikan, misalnya tujuan si terdidik ( pandangan
mengenai manusia), pendidik, materi, metode, dan alat pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep pemikiran Al-Kindi ?
2. Bagaimana konsep pemikiran Al-Gozali ?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memperoleh data tentang :
1. konsep pemikiran Al-Kindi
1. konsep pemikiran Al-Kindi
2. konsep pemikiran Al-Gozali
BAB II
PEMBAHASAN
A. AL-KINDI
1.
Riwayat Hidup Al-Kindi
Al-kindi yang dikenal sebagai filosof muslim
pertama keturunan arab, nama lengkapnya adalah abu yusuf ya`qup ibn ishaq ibn
shabbah ibn imran ibn ismail ibn muhammad ibn al-asy`ats ibn qais al-kindi. Ia
berasal dari kabilah kindah, termasuk kabilah terpandang dikalangan masyarakat
arab dan bermukim di daerah Yaman dan Hijaz, al-asy`ats termasuk salah seorang
sahabat nabi, yang meriwayatkan hadist bersama saad bin abi waqqas. Ikut perang
siffin dibawah pimpinan ali ibn abi tholib ia memegang panji kabilah kindah.[1]
Ia lahir di kuffah sekitar 185 H (801 M ) atau
penghujung abad ke 8 M dan awal abad ke 9 M. ayahnya adalah ishaq ibn
al-shabbah bekerja sebagai gubernur daulah abbasiah,pada masa pemerintahan
al-mahdi ( 775 – 785 M ) dean Harun Ar-Rasiyd (786 -809 M ). Walaupun orang
tuanya meninggal pada usia mudanya namun kehidupannya tergolong lumayan, namun
ia tidak sombong dan manja ia lebih senang belajar seperti halnya
al-quran,al-hadis,berhitung dan yang lainnya baik di Basrah maupun di Baghdad.
Kuffah dan basrah, pada abad ke 2 dan ke 3 H (
8 dan 9 M ) merupakan dua pusat kebudayaan islam yang maju. Kuffah lebih
cenderung kepada studi – studi aqliah; dan dalam lingkungan iktelektual inilah
al-kindi melewatkan masa kecilnya. Dia menghafal al-quran, bahasa arab,
kesusastraan, dan ilmu hitung, fiqh dan qalam.tetapi ia lebih tertarik kepada
ilmu pengetahuan dan filsafat, yang pada keduanya ia mengabdikan seluruh sisa
hidupnya. Ia seorang yang sangat cerdas,telah banyak menterjemahkan buuku
filsafat, menjelaskan berbagai masalah,menyimpulkan berbagai problem yang sulit
dan mengungkapkan problem yang sukar dipahami. Hal ini karena ia banyak
menguasai ilmu yang berkembang pada waktu di Kuffah dan Baghdad. Seperti
kedokteran, filsafat, semantik, giometri, al-jabar, ilmu falq, astronomi,
bahkan ia berkemampuan mengubah lagu. Jadi, tidak heran kalau al-kindi seorang
ahli dari berbagai ilmu pengetahuan. Karena ia hidup pada puncak kejayaan islam
pada daulah abbbasiah ( al-amin, 809 – 813 M ; al-Ma`mum, 813 – 833 M
).kemashuran al-kindi luar biasa sehingga khalifah al-Mu`tashim mengangkatnya
sebagai guru pribadi putranya ahmad, yang kepadanya ia persembahkan karya –
karya pentingnya. Sehingga telah menghiasi kerajaan al-Mu`tashim.[2]
Tak lama dikuffah al-Kindi berpindah ke Bagdad,
yang kala itu menjadi ibu kota kekholifaan Bani Abas dan pusat keilmuan.
Disitulah al-Kindi mendapat sokongan dari tiga kholifah Bani Abbas, yakni
al-Makmun,al-Mu’tasin, dan Al-Watsiq. Ketiga Kholifah itu mendukung total
kelangsungan belajar mengajar serta kegiatan ilmiah, silosofis, dan kesustraan
pada masa itu. Mereka ini pada umumnya lebih condong kepada rasionalisme
teologis Mu’tazilah. Namun ketika Al-Mutawwakil menjabat Kholifah pada tahun
874, Al-Kindi bernasib buruk seperti para filosof dan teologi lainnya. Setelah
limah tahun melewati masa sulit pada pemerintahan Al-Mutawwakil Al-Kindi wafat
sekitar tahun 866.[3]
2.
Konsep Pemikiran Al-Kindi
Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya
bernafsu (appetitive), daya pemarah (irascible), dan daya berpikir (cognitive
atau rational). Sebagaimana Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini
dengan mengibaratkan daya berpikir sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya
(pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Jika
akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat
dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan
nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang
bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan
sebagai raja.[4]
Menurut al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya
bukan untuk menggugat kebenaran wahyu atau untuk menuntut keunggulan yang
lancang atau menuntut persamaan dengan wahyu. Filsafat haruslah sama sekali
tidak mengajukan tuntutan sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan mau
merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi wahyu.[5]
3.
Filsafat Al-Kindi
Bagi Al-Kindi, filsafat adalah ilmu pengetahuan
yang mulia. Filsafatnya tentang keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga
proposisi filosofis. Menurut dia, Tuhan tak mempunyai hakikat, baik hakikat
secara juz'iyah atau aniyah (sebagian) maupun hakikat kulliyyah atau mahiyah
(keseluruhan).
Dalam pandangan filsafat Al-Kindi, Tuhan tidak
merupakan genus atau species. Tuhan adalah Pencipta. Tuhan adalah yang Benar
Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal. AL-Kindi juga menolak
pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah
merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada
obyek-obyek yang dapat ditangkap indera.
Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki
sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-Nya, tetapi
sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dengan
Zat-Nya. Jiwa atau roh adalah salah satu pembahasan Al-Kindi. Ia juga merupakan
filosof Muslim pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci. Al-Kindi
membagi roh atau jiwa ke dalam tiga daya, yakni daya nafsu, daya pemarah, dan
daya berpikir. Menurutnya, daya yang paling penting adalah daya berpikir,
karena bisa mengangkat eksistensi manusia ke derajat yang lebih tinggi.
Al-Kindi juga membagi akal mejadi tiga, yakni
akal yang bersifat potensial, akal yang telah keluar dari sifat potensial
menjadi aktual, dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.Akal
yang bersifat potensial, papar Al-Kindi, tak bisa mempunyai sifat aktual, jika
tak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Oleh karena itu, menurut
Al-Kindi, masih ada satu macam akal lagi, yakni akal yang selamanya dalam
aktualitas.[6]
4.
Hubungan Antara Filsafat Dan Agama
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa
salah satu fungsi utama filasafat adalah mencari kebenaran dengan berdasarkan
nalar atau akal manusia, sedangkan agama adalah sebuah kebenaran yang
berdasarkan wahyu Tuhan. Pertemuan antara keduanya sangatlah rumit untuk
diwujudkan. Dalam hal ini, al-Kindi melakukan pendekatan terhadap dua subjek
tersebut—yakni nalar dan wahyu—dengan dua tingkatan. Pertama, didasarkan atas
kesamaan tujuan antara filsafat dan agama dan yang kedua, secara epistemologis.
Dalam tingkatan pertama, sebelum ia
membentangkan pandangannya, lepas dari adanya kesamaan tujuan-tujuan antara
agama dan filsafat, al-Kindi mempertahankan perlunya filsafat dan dapat
disesuaikannya dengan agama. Uraian George N. Atiyeh, di dalam bukunya
”Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim,” menampakkan kepiawaian al-Kindi dalam
menghadapi serangan orang-orang yang fanatik dengan agama dan penentang
kegiatan filosofis macam apapun juga, ia menyatakan:“Filsafat adalah suatu
kebutuhan, bukan suatu kemewahan. Ia mengatakan kepada orang-orang yang fanatik
tersebut, bahwa mereka harus menyatakan, berfilsafat itu perlu atau tidak
perlu. Jika perlu, mereka harus memberikan alasan-alasan dan argumen-argumen
untuk membuktikannya. Padahal dengan memberikan alasan-alasan dan argumen-argumen
tersebut, mereka pada dasarnya telah berfilsafat. Oleh karena itu filsafat
adalah perlu dalam kedua hal itu.”
Pembelaan yang dikemukakan al-Kindi tersebut
mempunyai arti yang sangat penting, tidak hanya karena dilakukan dalam
menghadapi tantangan agama, tetapi juga diungkapkan kepada kita, bahwa al-Kindi
tidak bermaksud untuk merongrong wahyu dengannya, akan tetapi sebaliknya,
tujuan utamanya adalah untuk memberikan tempat bagi konsep-konsep keagamaan,
diatas apa yang ia anggap merupakan landasan-landasan yang lebih kokoh dan
benar, penggunaan bukti-bukti yang demonstratif.
Argumen utama yang digunakannya untuk
mempertahankan filsafat adalah dengan memberikan suatu asumsi bahwa filsafat
dan agama mempunyai tujuan-tujuan yang sama, yaitu pengetahuan tentang ke-esaan
Tuhan dan pengejaran kebajikan. Ia menguatkan hal ini dengan mengatakan, bahwa
filsafat mencakup ”teologi, ilmu pengetahuan ke-esaan Tuhan, ilmu etika, dan
ilmu yang berguna bagi manusia untuk menjalankan kebaikan dan mencegah
keburukan” diantara cabang-cabangnya.[7]
Lebih lanjut al-Kindi menyatakan bahwa agama
melakukan hal yang sama. Substansi semua amanat kenabian yang sebenarnya
hanyalah untuk mengukuhkan ke-Ilahian Tuhan yang unik, dan memerintahkan kepada
kita untuk memilih dan mengejar kebajikan-kebajikan yang paling diridlai di
mata Tuhan.
Dengan kata lain, al-Kindi melihat bahwa pada tingkat teoritis agama dan filsafat menggarap suatu masalah yang sama, ke-esaan Tuhan. Juga pada tingkat praktis, keduanya mempunyai tujuan-tujuan yang tidak berbeda, yaitu mendorong manusia untuk mencapai kehidupan moral yang lebih tinggi. Oleh karena itu pada kedua tingkat tersebut pemikiran al-Kindi telah memperjelas kenyataan, bahwa tidak ada perbedaan esensial antara agama dan filsafat, oleh karena keduanya mengarah kepada hal yang sama. Disamping itu, dimasukkannya teologi di dalam filsafat oleh al-kindi, menghadapkan kita kepada suatu masalah. Jika tujuan utama filsafat untuk memperkuat kedudukan agama, maka filsafat hendaknya menjadi pembantu teologi bukan sebaliknya.
Pada tingkat lainnya, masalah yang timbul dari hubungan yang ditempatkan oleh al-Kindi, antara filsafat dengan agama adalah bersifat epistemologis.
Dengan kata lain, al-Kindi melihat bahwa pada tingkat teoritis agama dan filsafat menggarap suatu masalah yang sama, ke-esaan Tuhan. Juga pada tingkat praktis, keduanya mempunyai tujuan-tujuan yang tidak berbeda, yaitu mendorong manusia untuk mencapai kehidupan moral yang lebih tinggi. Oleh karena itu pada kedua tingkat tersebut pemikiran al-Kindi telah memperjelas kenyataan, bahwa tidak ada perbedaan esensial antara agama dan filsafat, oleh karena keduanya mengarah kepada hal yang sama. Disamping itu, dimasukkannya teologi di dalam filsafat oleh al-kindi, menghadapkan kita kepada suatu masalah. Jika tujuan utama filsafat untuk memperkuat kedudukan agama, maka filsafat hendaknya menjadi pembantu teologi bukan sebaliknya.
Pada tingkat lainnya, masalah yang timbul dari hubungan yang ditempatkan oleh al-Kindi, antara filsafat dengan agama adalah bersifat epistemologis.
Sekarang, jika filsafat dan agama mengarah
kepada hal yang sama, maka apakah itu berarti bahwa filsafat setarap dengan
agama. Kalau sampai pada penentuan soal pengetahuan yang lebih mendasar
pengetahuan mana yang lebih pasti, yang rasional atau yang kenabian?
Al-Kindi tidak menentukan pendirian yang
konsisten mengenai masalah ini. Di satu tulisannya, ia mempertahankan kepastian
yang sama bagi pengetahuan rasional dan pengetahuan kenabian. Sedangkan di
dalam tulisan-tulisannya mengenai psikologi, ia memasukkan pengetahuan kenabian
di dalam pengetahuan rasional. Pada tulisannya yang lain lagi ia menyatakan
bahwa pengetahuan rasional manusia lebih rendah daripada pengetahuan kenabian.
5.
Konsep Filsafat Al-Kindi mengenai Etika kaitannya dengan Pendidikan
Seperti yang telah kita ketahui, al-Kindi
menganggap bahwa tujuan terakhir filsafat terletak pada hubungan hubungannya
dengan moralitis . sedangkan tujuan dari filosof adalah untuk mengetahui
kebenaran dan kemudian berbuat sesuai dengan kebenaran tersebut. Dengan
demikian kearifanj, perbuatan dan renungan sebagai aspirasi tertyinggi manusia
terpadu dalam dirinya, tampa menyamakan pengetahuan dan kebijaksanaan seperti
yang dilakukan oleh sokrates.
Oleh karena itu menurut al-Kindi sendiri maksud
ilmu pengetahuan etika ialah untuk memperoleh kebijakan dan menghindari
keburukan. Pengethauan tidak hanya untuk membedakan antara kebaikan dan
keburukan, tetapi turut membantu kemurnian jiwa yang merupakan satu-satunya
sara untuk menyatukan kedua hal tersebut.[8]
Dan konsepsi kefilsafat al-Kindi juga tidak terlepas dari Al-Qur’an dan
Al-Hadits.
Melihat pemamparan pemikiran alkindi diatas
ketika kita sambungkan dengan pendidikan bisa disimpulkan yang pertama dan
utama tugas pendidik kepada peserta didik adalah penanaman wtika dulu dengan
cara perbaikan jiwa atau nafs. Karena menurut al-Kindi sendiri tujuan terakhir filsafat
terletak pada hubungannya dengan moralitas (akhlak)
6.
Karya-karya Al-Kindi
Sebagian besar karya al-Kindi (berjumlah
sekitar 270 buah) hilang,Ibn al-Nadim dan yang mengikutinya, al-Qifti,
mengelompokan tulisan-tulisan al-Kindi yang kebanyakan beruupa risalah-risalah
pendek, menjadi 17 kelompok : (1) Filsafat, (2) Logika, (3) Ilmu Hitung, (4)
Globular, (5) Musik, (6) Astronomi, (7) Geometri, (8) Sperikal, (9) Medis, (10)
Astrologi, (11) Dealektika, (12) Psikologi, (13) Politik, (14) Meteorologi,
(15) Dimensi, (16) Benda-benda Pertama, (17) Spesies tertentu logam dan kimia,
dan lain-lain.
Gambaran ini menunjukan betapa luasnya
pengetahuan al-Kindi . beberapa karya ilmiah yang teglah diterjemahkan oleh
Gerared dari Cremona ke dalam bahasa Latin. Dan karya-karya ini sangat
mempengaruhi pemikiran Eropa pada abad pertengahan. Kardona menganggap al-Kindi
sebagai salah-satu dari dua belas pemikir terbesar.[9]
B. AL-GOZALI
1. Riwayat Hidup Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali.
Ia lahir di desa Thus. Wilayah Khurasan, Iran pada tahun 450 H/ 1058 M. ayahnya
seorang pengrajin wol dan pedagang hasil tenun. Dia adalah pemikir ulung Islam
yang menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama
(Zainuddin), samudra yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama.
Gelar ini didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh
dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari
berbagai serangan.[10]
Al-Ghazali adalah orang yang pertama kali menggabungkan antara
sufisme dan syari’ah dalam satu sistem. Ia belajar ilmu pertama kali pada
seorang sufi di negara Thus, kemudian ia pindah ke Jurjan dan Naisabur untuk
belajar ilmu agama pada ulama besar yang termashur yaitu Imam al-Haramain Diya
al-Din al-Juwaini, ia seorang direktur sekolah di Naisabur, ilmu yang
dipelajarinya adalah ilmu fiqih, ushul fiqih, mantiq, dan ilmu kalam.
Pada tahun 478 H/ 1058 M al-Ghazali bermukim di al-Muaskar dan
kemudian pindah ke Baqhdad untuk menjadi dosen di Perguruan Tinggi Ridzamiyah
pada tahun 484 H/ 1091 M. Ia meninggal di Thus pada tangal 14 Jumadil Akhir
tahun 505 H/ 19 Januari tahun 1111 M.[11]
Faham yang dibawanya adalah “al-Ma’rifah” sehingga karena jasanyalah tasawuf tersebut
dapat diterima dikalangan ahli syari’at. Menurutnya ma’rifat adalah mengetahui
rahasia tuhan dan mengetahui peraturannya, mengenai segala yang ada.
Menurutnya ma’rifat dalam tasawuf adalah suatu tingkat di mana
hijab hilang didepan wajah seorang sufi, sehingga ia dengan hati sanubarinya
dapat melihat Tuhan dan hal-hal lain yang tidak dapat dilihat oleh manusia
biasa.
Ia juga menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifat tentang
Tuhan, ia tidak akan mengatakan kata-kata Ya Allah atau Ya Rabb, karena
memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa itu menunjukkan bahwa Tuhan masih
berada dibelakang tabir orang yang berhadapan dengan temannya tidak akan
memanggil temannya dengan kata-kata itu. Baginya ma’rifat lebih dulu urutannya
dari pada mahabah, karena mahabah timbuh dari ma’rifat dan mahabah bagi
al-Ghazali bukanlah mahabah sebagaimana yang di ucapkan oleh rabiah, tetapi
mahabah baginya adalah dalam bentuk cinta seorang kasih dan rahmat Tuhan kepada
manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan, dan lain-lain. Mahabah
dan ma’rifat adalah setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang
sufi. Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat menurutnya lebih bermutu dan
lebih tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal.[12]
2. Pemikiran tentang Pendidikan
Al-Ghazali adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya
terhadap bidang pengajaran dan pendidikan. Oleh karena itu ia melihat bahwa
ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan melebihi segala-galanya. Oleh sebab itu
menguasai ilmu baginya termasuk tujuan pendidikan dengan melihat nilai-nilai
yang dikandungnya dan karena ilmu itu merupakan jalan yang akan mengantarkan
anda kepada kebahagiaan di akhirat serta sebagai alat untuk mendekatkan diri
kepada Allah.
Oleh karena itu ia menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses
memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui
berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara
bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan
masyarakat.[13]
Maka sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada
tujuan yang jelas. Mengingat pendidikan itu penting bagi kita, maka al-Ghazali
menjelaskan juga tentang tujuan pendidikan, yaitu :
a. Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan
kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah.
b. Menggali dan mengembangkan
potensi atau fitrah manusia.
c. Mewujudkan profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan
dengan sebaik-baiknya.
d. Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari
kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
e. Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi
manusia yang manusiawi.
Bertolak dari pengertian pendidikan menurut
al-Ghazali, dapat di mengerti bahwa pendidikan merupakan alat bagi tercapainya
suatu tujuan. Pendidikan dalam prosesnya memerlukan alat, yaitu pengajaran atau
ta’lim. Sejak awal kelahiran manusia sampai akhir hayatnya kita selalu
bergantung pada orang lain. Dalam hal pendidikan ini, orang (manusia) yang bergantung
disebut murid sedangkan yang menjadi tempat bergantung disebut guru. Murid dan
guru inilah yang disebut sebagai subyek pendidikan.
Oleh karena itu arahan pendidikan al-Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat mendcapai tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat yanghal ini berlangsung hingga akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa manusia hidup selalu berkedudukan sebagai murid.
Oleh karena itu arahan pendidikan al-Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat mendcapai tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat yanghal ini berlangsung hingga akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa manusia hidup selalu berkedudukan sebagai murid.
Manusia adalah subyek pendidikan, sedangkan
pendidikan itu sangat penting bagi manusia, maka dalam pendidikan itu harus
diperhatikan tentang kurikulumnya. Kurikulumnya pendidikan menurut al-Ghazali
adalah materi keilmuan yang disampaikan kepada murid hendaknya secara
berurutan, mulai dari hafalan dengan baik, mengerti, memahami, meyakini, dan
membenarkan terhadap apa yang diterimanya sebagai pengetahuan tanpa memerlukan
bukti atau dalil.[14]
Sehingga dengan pentahapan ini melahirkan metode khusus pendidikan, menurut
al-Ghazali yaitu :
1. Metode khusus pendidikan agama
Menurut al-Ghazali metode ini pada prinsipnya
di mulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan
dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang bisa
menunjang penguatan akidah.
2. Metode khusus pendidikan ahklak
Akhlak menurut
al-Ghazali adalah : suatu sikap yang mengakar dalam jiwanya yang melahirkan
berbagai perbuatan tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu.[15]
Dengan adanya metode
tersebut, maka al-Ghazali menyimpulkan bahwa pendidikan itu harus mengarah
kepada pembentukan akhlak mulia, sehingga Ia menjadikan al-Qur’an sebagai
kurikulum dasar dalam pendidikan. Ia juga menyimpulkan bahwa tujuan akhir
pendidikan dan pembinaan itu ada 2 yaitu :
1.
Kesempurnaan insani
yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
2.
Kesempurnaan insani
yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
3. Karya-Karya al-Ghazali
1. Di Bidang Filsafat
a. Maqashidu –ul falasifah (tujuan ilmu filsafat)
b. Tahafut –ul falasifah (kesesatan ilmu filsafat)
c. Al-Ma’rifatul ‘Aqliyah (ilmu
pengetahuan yang rasional)
2. Di Bidang Agama
a. Ihya’ Ulumuddin (menghidup-hidupkan ilmu agama)
b. Al-Mungis minal dhalal
(terlepas dari kesesatan)
c. Minhaj ul abidien (jalan mengabdi Tuhan)
d. Kitab-kitab akhlak dan tasawuf.
3. Dalam Bidang Kenegaraan
a. Mustazh – hiri
b. Sirrul ‘alamain (rahasia dua dunia yang berbeda)
c. Suluk us Sulthanah (cara menjalankan pemerintahan)
d. Nashihat et muluk (nasihat untuk kepala-kepala negara)
Itulah karya-karya al-Ghazali yang saat masih bisa kita simak.[16]
Itulah karya-karya al-Ghazali yang saat masih bisa kita simak.[16]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa
pandangan al-Kindi tentang pendidikan ketika dikaitkan dengan ilmu etika yang
pertama dan utama tugas pendidik kepada peserta didik adalah penanaman wtika
dulu dengan cara perbaikan jiwa atau nafs.
Sedangkan menurut al-Gozali pendidikan adalah
proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui
berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara
bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan
masyarakat. Maka sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang
mengarahkan kepada tujuan yang jelas. Mengingat pendidikan itu penting bagi
kita, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang tujuan pendidikan, yaitu :
1.
Mendekatkan diri
kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan
ibadah wajib dan sunah.
2.
Menggali dan
mengembangkan potensi atau fitrah manusia..
3.
Mewujudkan
profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
4.
Membentuk manusia
yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat
tercela.
5.
Mengembangkan
sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka
Pelajar, cet I, Yogyakarta, 1998.
Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf (Dirasah Islamiyah
IV), Rajawali Pers, Jakarta, 1993.
Ahmadi, Abu, Filsafat Islam, CV. Toha Putra Semarang, 1982.
Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Dina Utama,
Semarang, cet-1, 1993.
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, juz III, Masyhadul Husaini, tt.
Atiyeh, George N, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, Penerbit Pustaka
Bandung, 1983. hlm. 21-22 Syarif M.A Para Filosof Muslim, Bandung Mizan, 1998.
C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 1991.
Fakry, Masjid, Sejarah Filsafat Islam, Bandung : Mizan, 2002
Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi
Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali, Dina Utama, Semarang, cet I,
1993.
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI
Press, Jakarta, 1979.
M.M Syarif M.A Para Filosof Muslim, Bandung :Mizan, 1998.
Syarif, Para Filosof Muslim, Mizan, Bandung,
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Rosda Karya, Bandung, 2002.
[1]
Masjid, Fakry, Swajarah Filsafat Islam, Bandung : Mizan, 2002. Hal 25
[2]
M.M. Syarif M.A Para Filosof Muslim, Bandung : Mizan, 1998. Hal. 11
[3]
Majid Fakyr, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, Bandung : Mizan,
2002. Hal. 25
[4]
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Risyda Karya, Bandung, 2002. Hal. 8-9
[5] Ahmad,
Abu, Filsafat Islam, CV. Toha Putra Semarang, 1982, Hal. 20-12
[6]
Syarif, Para Filosof Muslim, Mizan, Bandung, 1985, Hal. 17
[7]
Atiyeh, George N, Al-Kindi Tikoh Filosof Muslim, Penerbit Pustaka Bandung,
1983. Hal. 21-22
[8]
Atiyeh, George N, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, Penerbit Pustaka Bandung.
1983. Hal. 21-22
[9] Syarif
M.A Para Filosof Muslim, Bandung : Mizan, 1998. Hal. 13
[10] C.A.
Qadar, Filsafat Dalam Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 1991, Hal. 103
[11]
Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), Rajaweali
Pers, Jakarta, 1993. Hal. 91
[12]
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press,
Jakarta, 1979, Hal. 78
[13]
Abidin Abu Rusn, Pemikiran Al-Gozali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet,
I, Yogyakarta, 1998, Hal. 56
[14]
Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran
Pendidikan Menurut Al-Gozali, Dina Utama, Semarang, cet I. 1993. Hal. 18
[15]
Al-Gozali, ihya,’Ulumuddin, juz III, Masyhadul Husaini, tt, Hal. 109
[16]
Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Dina Utama, Semarang, cet.
1993. Hal. 55-62